Seperti diketahui otak terbelah menjadi dua kiri dan kanan. Kedua belahan itu memiliki mekanisme yang berbeda dalam berpikir. Menurut Stephen Covey (dalam Moch Masykur dan Abdul Halim Fathani, 2007: 116). Penggunaan otak kiri merupakan spesifikasi cara berpikir yang logis, sekuensial, linear dan rasional. Otak kanan mewakili cara berpikir non verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran spasial, penggunaan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi. Kedua fungsi belahan otak itu jika sama-sama dikembangkan dan digabungkan dalam pembelajaran maka siswa akan mampu mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainnya (emosional dan spiritual). Selama ini otak kanan dibiarkan menganggur sehingga intelektualitas siswa berkembang kurang seimbang. Anak hanya pandai berpikir dan menilai tapi kurang intuitif, kreatif, dan dinamis. Ada anggapan untuk mempelajari matematika hanya menggunakan otak kiri saja. Aktivitas matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak, namun itu saja tidak cukup. Agar berkembang, matematika membutuhkan kreativitas dan intuisi seperti halnya seni dan sastra. (M. Masykur dan Abdul Halim F, 2007: 68).
Dengan demikian kemampuan intelektual semata tidak cukup untuk belajar matematika, tetapi perlu didukung dengan kemampuan emosional dan spiritual. Pola pikir deduktif dan logis dalam matematika sangat bergantung pada kemampuan intuitif dan imajinatif. Di saat membaca novel aktifitas emosional (hati) yang menikmati. Saat belajar matematika kadang hanya kemampuan intelektual yang digunakan. Ini menunjukkan bahwa kemampuan intelektual (pikir) sangat dipengaruhi kemampuan emosional dan spiritual (Abdusysyakir, 2007: 28-29). Oleh karena itu untuk mengingat materi matematika dengan baik perlu ada aktivitas menikmati dan merasakan, di samping aktivitas berpikir. Sebagai implementasi harapan tersebut penulis berusaha menuangkan ide tentang integrasi seni “garbage” (sampah) dalam pembelajaran pecahan ke dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan tiga siklus. Siklus I bertujuan untuk mengetahui aktivitas, minat dan hasil belajar siswa, dalam mengikuti pembelajaran konsep dasar pecahan (pengertian bilangan pecahan, pecahan senilai dan urutan pecahan). Refleksi dari hasil pada siklus I, selanjutnya digunakan untuk melakukan tindakan pada siklus II yaitu pembelajaran konsep bentuk-bentuk pecahan dan cara mengubah pecahan ke bentuk lain (biasa, desimal, persen dan permil). Kegiatan pada siklus III dengan materi operasi pecahan. Masing-masing siklus mengintegrasikan seni (warna dan desain) menggunakan bahan-bahan sampah (garbage).
Kami mengangkat masalah ini karena selama ini pembelajaran matematika saling asing dengan bidang ilmu yang lain seperti seni. Kurikulum bidang seni juga jarang diintegrasikan dengan pelajaran lainnya. Seni kadang-kadang hanya dihubungkan dengan menyanyi, menari dan menggambar. Selain itu penulis sepaham dengan beberapa pendapat tentang manfaat seni dalam matematika (www.mathartfun.com), di mana: (i) sangat baik untuk perkembangan otak, (ii) meningkatkan kecintaan peserta didik (orang secara umum) terhadap matematika, dan (iii) perintis pembelajaran matematika (dan seni) dari perspektif berbeda. Penelitian relevan tentang manfaat media seni telah dilakukan Ramlan (2004), dan disimpulkan bahwa: (1) gambar seni yang diguakan sebagai media pembelajaran matematika, akan melahirkan aktivitas pada proses pembelajaran; dan dapat memberikan motivasi siswa untuk belajar; dan (2) Media gambar seni rupa apabila digunakan untuk pembelajaran matematika akan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Aziz Omar, (2005) bahwa bahan manipulatif dapat digunakan untuk untuk menjelaskan sesuatu idea yang abstrak, sehingga mudah memahami suatu konsep. Dalam hal ini pecahan. Secara kognitif, pendekatan pembelajaran meningkatkan peningkatan rata-rata hasil belajar pada siklus I (63,97), siklus II (67,39) dan siklus III (70,42). Sedangkan ketuntasan belajar yang dicapai siswa, pada siklus I (57,89 %), siklus II (73,68 %) dan siklus III(84,21 %) atau terjadi kenaikan ketuntasan belajar siswa sebesar 26,32 % dari siklus I ke siklus III.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa integrasi seni dalam pembelajaran matematika materi pecahan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan memanfaatkan kreativitas, imajinasi dan intuisi mampu mengoptimalkan semua kecerdasan yang dimiliki siswa sehingga intelektualnya terasah. Integrasi seni ke dalam pembelajaran matematika juga memberi kesempatan murid berkreasi dengan pengalamannya memadukan seni dengan matematika dan menghubungkannya dengan kemampuan matematika pecahan. Dengan cara mengidentifikasi porsi warna, menurut desain mereka sendiri, murid akan merekonstruksi pengetahuannya untuk memahami konsep pecahan.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh Farsi & Freiberger (2005: 6) dan Betts Paul (2003) di mana integrasi seni dalam pembelajaran matematika akan mengembangkan ketrampilan visual yang meningkatkan imajinasi dan kreativitas sehingga dapat meningkatkan aktivitas, minat dan hasil belajar siswa. Murid dapat meningkatkan aktivitasnya dengan model representasi bilangan pecahan yang bervariasi secara gambar, verbal, simbol dengan bilangan dengan manipulasi fisik menggunakan kotak dan warna dengan benda-benda di lingkungan sekitarnya. Selain itu keindahan dalam seni juga membantu intuisi dalam matematika yang akan membantu proses pencararian kebenaran dalam kehidupan siswa, sehingga menumbuhkan nilai-nilai kemanusian (humanisme) dalam diri siswa seperti kepedulian, empati dan tenggang rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar